Guru Pelita Yang Tak Butuh Viral

Guru Pelita Yang Tak Butuh Viral

Setiap tanggal 5 Oktober, dunia merayakan Hari Guru Sedunia. Banyak orang ramai menulis ucapan di media sosial, mengunggah foto-foto penuh nostalgia, dan menulis pesan manis untuk guru-guru mereka. Tapi di balik semua kemeriahan itu, ada sisi lain yang sering luput dari perhatian: perjuangan para guru di tengah gempuran media sosial dan derasnya arus informasi yang tak selalu membawa kebaikan.

Orang Jawa punya pepatah terkenal,

“Guru digugu lan ditiru.”

Artinya, perkataan guru dipercaya dan tindakannya pantas dicontoh. Guru bukan cuma pengajar mata pelajaran, tapi juga sosok panutan yang menjaga moral dan menuntun nurani. Namun di zaman serba digital ini, peran itu sedang diuji keras.

Sekarang, siapa pun bisa tampil seperti “guru” di dunia maya. Cukup punya akun media sosial dan banyak pengikut, langsung bisa bicara tentang apa saja, bahkan soal pendidikan dan moralitas. Anak-anak kini belajar bukan hanya di ruang kelas, tapi juga lewat layar ponsel — dari TikTok, YouTube, sampai Instagram. Sayangnya, tidak semua yang mereka tonton membawa nilai kebaikan.

Media sosial sering kali hanya menampilkan pengetahuan yang dangkal, opini tanpa dasar, dan ketenaran tanpa tanggung jawab.

Di sinilah tantangan besar bagi para guru. Mereka bukan lagi hanya menyampaikan teori atau rumus, tapi juga harus mengajarkan cara berpikir jernih dan kritis di tengah banjirnya informasi palsu.

Guru perlu memahami dunia digital agar bisa menuntun generasi yang tumbuh di tengah teknologi. Tapi sayangnya, banyak di antara mereka masih terbatas oleh fasilitas, pelatihan, dan bahkan kesejahteraan.

Di berbagai daerah, masih banyak guru yang berjuang dalam kesederhanaan — mengajar di ruang kelas kecil, jaringan internet yang putus-putus, dan gaji yang jauh dari kata cukup. Namun, mereka tetap hadir setiap pagi, menyapa anak didik dengan senyum tulus.

Mereka mungkin tidak viral, tapi merekalah yang benar-benar menyalakan cahaya di tengah kegelapan zaman.

Mereka bukan hanya mengajarkan cara berhitung, tapi juga mengajarkan makna hidup dan nilai kemanusiaan.

Guru sejati tidak berhenti pada transfer ilmu, tapi berperan sebagai penanam nilai: kejujuran, empati, dan tanggung jawab. Melalui tangan mereka, pendidikan kembali menemukan maknanya — bukan sekadar mencetak orang pintar, tapi membentuk manusia yang utuh dan berhati bersih.

Namun, perjuangan ini tidak bisa ditanggung guru seorang diri.

Pemerintah dan masyarakat harus ikut ambil bagian. Guru butuh pelatihan digital yang memadai, lingkungan kerja yang layak, dan penghargaan yang sepadan. Sudah waktunya kita berhenti melihat guru hanya sebagai pelaksana kurikulum, dan mulai menempatkan mereka sebagai **pilar perubahan sosial** yang menentukan arah bangsa.

Momen Hari Guru Sedunia seharusnya bukan sekadar acara seremonial, tapi waktu untuk merenung bersama.

Mari kita jujur bertanya pada diri sendiri:

* Sudahkah kita menghargai guru lewat tindakan nyata, bukan hanya kata-kata manis?

* Sudahkah kita memberi kesempatan bagi mereka untuk tumbuh dan menyesuaikan diri dengan dunia digital?

* Dan yang paling penting, sudahkah kita meneladani nilai-nilai yang mereka ajarkan — ketulusan, kesabaran, dan cinta pada ilmu?

Kemajuan bangsa tidak hanya ditentukan oleh teknologi yang canggih, tapi juga oleh keteguhan moral para pendidiknya.

Selama masih ada guru yang tetap datang ke sekolah meski gajinya pas-pasan, selama masih ada guru yang setia membimbing anak-anak dengan penuh kasih di tengah segala keterbatasan, selama masih ada guru yang menanamkan kejujuran di tengah riuhnya kebohongan digital — bangsa ini tidak akan kehilangan arah.

Guru adalah penjaga nurani bangsa.

Mereka tidak perlu terkenal di dunia maya untuk disebut pahlawan. Cukup terus menyalakan cahaya, membimbing generasi muda, dan menuntun kita semua pulang — menuju kemanusiaan yang sejati.

Komentar

comments powered by Disqus