KKM dalam Kurikulum 2013: Antara Target Tinggi dan Realita Pembelajaran Oleh : Aris Suharyanto, S.Pd.I.
Salah satu ciri khas dari Kurikulum 2013 (K-13) adalah adanya sistem penilaian berbasis KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal). Sekilas, sistem ini terlihat sederhana: ada angka minimal yang harus dicapai siswa agar dinyatakan tuntas. Namun, jika kita melihat lebih jauh, penerapan KKM di K-13 justru menimbulkan problem baru yang perlu dikritisi.
Perlu diketahui, KKM bukan hal baru. Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006, konsep ini sudah ada. Bedanya, penetapan KKM kala itu fleksibel sesuai kondisi masing-masing sekolah dan mata pelajaran. Angkanya bisa berbeda-beda, mulai dari yang rendah—misalnya 65—lalu perlahan ditingkatkan. Hingga kini, dalam K-13, pemerintah menetapkan standar nasional dengan angka 75 sebagai batas minimal.
Masalah utama dari penetapan KKM 75 adalah tidak seimbangnya target dengan kualitas pembelajaran di lapangan. Banyak sekolah dituntut meningkatkan KKM tiap tahun, tetapi tanpa diiringi peningkatan mutu pembelajaran, fasilitas, maupun kesiapan guru. Akibatnya, angka 75 terasa dipaksakan.
Lebih ironis lagi, dalam praktiknya penetapan KKM sering tidak realistis. Ambil contoh, jika hasil ulangan harian tahun sebelumnya rata-rata siswa hanya mencapai 55, mestinya intake siswa ditulis sesuai fakta. Namun kenyataannya, sekolah tetap menetapkan intake 75 hanya karena harus mengikuti standar. Akhirnya, saat nilai siswa tidak mencapai target, solusi instan ditempuh: remedial yang sekadar “menuntaskan angka”, bukan menuntaskan pemahaman.
Merugikan Siswa Pintar, Menyesatkan Wali Murid
Penerapan KKM 75 juga membawa dampak psikologis bagi siswa pintar. Angka 75 yang dahulu dianggap prestasi membanggakan, kini hanya menjadi batas bawah. Akibatnya, nilai 80 atau bahkan 90 tidak lagi memiliki perbedaan signifikan dengan angka minimal. Semangat berkompetisi dan motivasi untuk meraih nilai lebih tinggi pun berpotensi menurun.
Bukan hanya siswa, wali murid pun banyak yang salah kaprah. Masih ada anggapan bahwa 75 adalah nilai tinggi, padahal itu hanya standar minimal. Ketika mereka mengetahui bahwa 75 hanyalah batas bawah, tidak sedikit yang kaget dan merasa tertipu.
Tekanan Bagi Sekolah
Faktor lain yang membuat masalah semakin kompleks adalah tuntutan agar sekolah “mengangkat” nilai siswa. Tujuannya sederhana: supaya siswa mudah diterima di jenjang berikutnya, baik di SMP maupun MTs. Tekanan ini mendorong praktik pemberian nilai tinggi secara tidak proporsional, sehingga penilaian akademik kehilangan makna sejatinya.
Jika kita jujur, sistem KKM 75 dalam Kurikulum 2013 memang belum berjalan ideal. Alih-alih menjadi alat ukur obyektif, ia kerap menjadi beban administratif yang menuntut angka tanpa memperhatikan realita pembelajaran. KKM seharusnya fleksibel, realistis, dan berfungsi sebagai cermin kualitas belajar, bukan sekadar target angka yang dipaksakan.
Pertanyaannya, apakah kita mau terus terjebak dalam angka-angka semu, atau mulai berani merumuskan sistem penilaian yang benar-benar mencerminkan kemampuan siswa?

Komentar
comments powered by Disqus